Peristiwa

Jurnalis Diserang! Herry Kabut ‘Dianiaya’ Aparat Saat Liput Aksi Warga Poco Leok

×

Jurnalis Diserang! Herry Kabut ‘Dianiaya’ Aparat Saat Liput Aksi Warga Poco Leok

Sebarkan artikel ini
Jurnalis Diserang! Herry Kabut ‘Dianiaya’ Aparat Saat Liput Aksi Warga Poco Leok
(Ilustrasi) Jurnalis Diserang! Herry Kabut ‘Dianiaya’ Aparat Saat Liput Aksi Warga Poco Leok

Tapakbatas.com– Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa, menjadi korban kekerasan aparat saat meliput aksi unjuk rasa warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Dalam peristiwa tersebut, Herry mengalami beberapa tindakan kekerasan, termasuk perampasan ponselnya oleh polisi yang kemudian memeriksanya.

Sebagai bentuk tanggung jawab untuk memberikan informasi yang jelas kepada publik, floresa.co mempublikasikan kronologi yang ditulis oleh Herry mengenai peristiwa tersebut.

Langkah ini diambil agar publik dapat memperoleh informasi yang transparan tentang apa yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap kerja-kerja jurnalistik.

Kronologi Penangkapan Herry Kabut

Herry ditangkap oleh aparat keamanan sekitar pukul 14.37 WITA dan baru dilepaskan pada pukul 18.00 WITA.

Pada hari yang sama, Herry berangkat menuju Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, setelah mendapatkan informasi bahwa tiga warga adat Poco Leok ditangkap oleh aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal.

Informasi tersebut mendorong Herry untuk meliput aksi itu.

Warga dari sepuluh kampung adat di wilayah tersebut melakukan aksi yang mereka sebut sebagai “jaga kampung.”

Aksi tersebut berlangsung di titik pengeboran (wellpad D) di Lingko Tanggong, yang merupakan bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.

Herry berangkat dari Ruteng sekitar pukul 13.10 WITA dan tiba di Lingko Tanggong sekitar pukul 14.00 WITA.

Setibanya di lokasi, situasi sudah tenang, dan warga tidak lagi berkonfrontasi dengan aparat keamanan.

Mereka tampak duduk santai setelah makan siang, dan beberapa warga menyapa Herry saat tiba.

Herry mulai memotret situasi di lokasi itu, dan tidak ada aparat keamanan, PT PLN, maupun pemerintah yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.

Herry mengambil sepuluh gambar, dengan foto terakhir menunjukkan tiga warga dan dua polisi wanita yang duduk di dalam mobil keranjang.

Saat Herry mengambil gambar tersebut, seorang polisi wanita (Polwan) memanggilnya dan meminta Herry untuk naik ke dalam mobil.

Polwan itu kemudian menanyakan tujuan Herry mengambil foto. Herry menjawab bahwa dia adalah seorang jurnalis dari media Floresa dan kemudian diminta untuk menunjukkan ID card.

Herry menjelaskan bahwa dia tidak membawa kartu pers, tetapi memiliki surat tugas yang bisa membuktikan bahwa dia adalah Pemimpin Redaksi Floresa.

Tiba-tiba, beberapa anggota polisi, baik yang berseragam maupun berpakaian bebas, mendatangi mobil dan meminta Herry untuk turun. Mereka menuduh Herry naik ke mobil itu tanpa izin.

“Saya menjelaskan bahwa saya naik karena diminta oleh polisi wanita. Namun, mereka memotong pembicaraan dan memaksa saya turun. Saat saya turun, seorang aparat langsung mengunci leher saya, sementara yang lain menggiring saya sejauh sekitar 50 meter dari mobil tersebut,” kata Herry, dikutip dari floresa.co pada Jumat (4/10/2024).

Meskipun Herry berulang kali menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang jurnalis, aparat kepolisian tetap tidak mempercayainya. Mereka bahkan meminta untuk memeriksa website Floresa sebagai upaya membuktikan identitas Herry.

Namun, alih-alih menerima penjelasannya, mereka terus-menerus menuntut agar Herry menunjukkan kartu pers. Situasi semakin memburuk ketika mereka mulai memukulnya dan menggiringnya ke samping mobil milik TNI.

“Di samping mobil, mereka mengunci leher saya, mencekik, meninju wajah dan kepala saya, serta menendang beberapa bagian tubuh saya. Beberapa aparat, wartawan berinisial TJ, dan anggota polisi intel yang mengaku sebagai ‘anak media’ terlibat dalam pemukulan tersebut,” jelasnya.

Wartawan Inisial TJ dan Anggota Polisi Ikut Memukul

Wartawan yang ikut memukul Herry sebelumnya pernah terlibat konfrontasi dengan salah satu jurnalis Floresa.

Menerima pukulan bertubi-tubi, Herry berteriak, dan beberapa warga Poco Leok mendekat untuk merekam tindakan aparat dan wartawan tersebut.

Mereka mengklaim bahwa potretan Herry merupakan upaya untuk memprovokasi warga, dan menuduh Herry sebagai “anak buah Pater Simon,” merujuk pada Pater Simon Suban Tukan, SVD, direktur JPIC-SVD, lembaga milik Gereja Katolik yang mendampingi warga Poco Leok.

“Beberapa di antara mereka meminta KTP saya, tetapi saya tidak memberikannya. Ada juga yang berteriak, ‘Ambil borgol! Borgol saja dia!’ Mereka menyita tas berisi laptop dan kamera serta ponsel saya,” ungkapnya.

“Salah satu anggota polisi yang mengunci leher saya merampas ponsel dan berkata, ‘Saya sudah memantau pergerakanmu selama ini.’ Setelah memukul saya beberapa kali, mereka memasukkan saya ke dalam mobil polisi dan mengunci pintunya,” bebernya.

Para aparat mengatakan, “Kamu diamankan, bukan ditahan.” Salah satu polisi yang melintas berkata, “Kalau kamu menulis berita yang lain, kami akan pantau,” kata Herry.

Di dalam mobil, seorang polisi meminta ID card Herry sambil memotong penjelasan dia. Tak lama kemudian, seorang polisi tanpa seragam masuk dan menemani Herry.

“Polisi yang mengunci leher saya kemudian memeriksa ponsel saya, membaca pesan WhatsApp, dan memeriksa foto-foto di dalamnya,” ungkapnya.

“Dia bertanya tentang identitas teman-teman yang mengirim pesan, serta membaca pesan dari dua jurnalis yang menanyakan posisi dan keadaan saya. Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis sesuai dengan rumus yang dia buat,” jelasnya.

Selanjutnya, polisi itu keluar dari mobil, dan polisi lain menghampiri pintu mobil. Dia memanggil polisi yang mengunci leher Herry dengan sebutan “BV.”

Setelah itu, BV keluar dari mobil dan kembali masuk beberapa saat kemudian, kembali menanyakan kartu pers Herry.

“Sekali lagi, saya menjelaskan bahwa saya tidak membawanya, tetapi bisa menunjukkan surat tugas saya. Saya meminta izin untuk membuka laptop, tetapi berkas surat tugas saya telah dipindahkan,” ungkapnya.

“Saya meminta izin membuka laptop dan meminta mereka mengecek website Floresa untuk memastikan status saya sebagai jurnalis,” lanjutnya.

Seorang polisi berinisial R memeriksa surat tugas Herry dan berkata, “Surat tugas ini hanya berlaku selama tiga bulan setelah diterbitkan pada September tahun lalu,” ujar seorang polisi berinisial R.

Herry kemudian menjelaskan bahwa surat tugas itu dikeluarkan oleh Pemimpin Redaksi sebelumnya saat dia masih berstatus sebagai kontributor.

Setelah memeriksa, R berkata, “Kalau dari tadi dapat penjelasan seperti ini, kraeng tidak akan ditahan. Ternyata kraeng memang Pemimpin Redaksi Floresa,” ujarnya.

Setelah berdiskusi, BV menawarkan dua opsi untuk melepaskan Herry, salah satunya adalah membuat video klarifikasi atau memberi klarifikasi di Polres.

“Saya memilih untuk memberikan klarifikasi di lokasi. Saya menyetujui untuk merekam klarifikasi yang mengatakan bahwa saya diamankan karena tidak membawa kartu identitas,” ungkapnya.

Setelah klarifikasi, mereka mengizinkan Herry pulang. Namun, Herry teringat bahwa ponselnya masih disita. R menghampiri Herry dan membantu meminta ponsel dari BV.

Menghadapi beragam tindakan polisi, mulai dari penangkapan, penganiayaan, hingga perampasan barang pribadi, Herry merasakan tekanan yang besar.

“Hari ini, saya masih hidup. Di tengah kemarahan terhadap perlakuan polisi, saya merasa terharu atas kepedulian banyak orang terhadap saya. Terima kasih untuk semua dukungan ini,” pungkasnya.

Editor : Darwis

Follow Berita Tapakbatas.com di Google News